Bahkan di Cirebon, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga menggunakan tarian ini sebagai alat untuk menyiarkan agama Islam, sekaligus menjadi hiburan di lingkungan keraton.
Tari Topeng sendiri sebenarnya sudah ada sekitar abad ke-10 atau ke-11 Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Panji Dewa, Raja Jenggala di Jawa Timur. Seni tari ini kemudian dibawa oleh seniman jalanan ke Cirebon yang selanjutnya mengalami proses akulturasi. Dari Cirebon, seni tari ini lalu menyebar lagi ke daerah-daerah lain di Jawa Barat. Di provinsi ini, terdapat dua jenis Tari Topeng, yaitu Tari Topeng Cirebon dan Tari Topeng Priangan.
Simbol-simbol sarat makna dari sebuah pementasan Tari Topeng disampaikan melalui warna topeng, jumlah topeng, dan juga jumlah gamelan pengiringnya. Total jumlah topengnya ada sembilan, yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu lima topeng pokok (panji, samba atau pamindo, rumyang, tumenggung atau patih, kelana atau rahwana) dan empat topeng lainnya lainnya (pentul, nyo atau sembelep, jingananom dan aki-aki) digunakan jika lakon yang dimainkan berjudul Jaka Blowo, Panji Blowo, atau Panji Gandrung.
Lima topeng pokok disebut sebagai Topeng Panca Wanda yang artinya topeng lima watak. Panji, misalnya, diartikan sebagai seorang bayi iyang masih bersih atau tidak berdosa. Pamindo menggambarkan kesatria. Patih menggambarkan kedewasaan.
Tari Topeng
Cirebon merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari Cirebon,
termasuk Indramayu, Losari, Jatibarang, dan Brebes. Tarian ini salah satu
tarian di tatar Parahyangan. Di Cirebon, tari topeng ini banyak sekali
jenisnya, dalam hal gerakan ataupun cerita yang ingin disampaikan. Terkadang
tari topeng akan dimainkan oleh satu penari tarian tunggal, atau bisa juga
dimainkan oleh beberapa penari.
Salah satu dari
jenis tari topeng yang berasal dari Cirebon adalah Tari Topeng Klana. Tarian
topeng klana ini merupakan semacam bagian lain dari tari topeng cirebon lainnya
yaitu seperti Tari Topeng Kencana Wungu. Adakalanya kedua tari Topeng ini
disajikan secara bersama-sama dan biasa disebut dengan Tari Topeng Klana Kencana
Wungu.
Tari Topeng Klana
ini merupakan rangkaian gerakan tari yang menceritakan sang Prabu Minakjingga
(Klana) yang tergila-gila pada kecantikan dari sang Ratu Kencana Wungu, sampai
kemudian berusaha mendapatkan pujaan hatinya. Akan tetapi upaya pengejarannya
tidak mendapat hasil. Kemarahan yang tidak bisa lagi disembunyikannya kemudian
membeberkan segala tabiat buruknya.
Pada dasarnya,
bentuk serta warna topeng akan mewakili karakter atau watak dari tokoh yang
dimainkan. Klana, dengan topeng dan busana yang didominasi oleh warna merah
mewakili karakter yang tempramental. Pada tarian ini, Klana yang merupakan
orang yang serakah, penuh amarah, serta tidak dapat menjaga hawa nafsu yang
divisualisasikan ke dalam gerakan langkah kaki yang panjang-panjang dan juga
menghentak. Sepasang tangannya juga terbuka dan jari-jari yang selalu mengepal.
Sebagian dari gerak tarinya menggambarkan
seseorang yang gagah, marah, mabuk, atau tertawa terbahak-bahak. Tarian ini
dapat dipadukan dengan irama Gonjing yang kemudian dilanjutkan dengan Sarung
Ilang. Pola pengadegan tarinya sama dengan topeng lainnya yang terdiri atas
bagian baksarai (tari yang belum memakai kedok) serta bagian ngedok (tari yang
memakai topeng).
Tidak ada yang
tahu pasti siapa yang pertama kali menciptakan tari topeng kelana. Yang pasti,
tari ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Singasari. Hal tersebut salah satunya
dibuktikan oleh adanya catatan dalam Kitab Negara Kertagama yang menggambarkan
Raja Hayam Wuruk sedang menari dengan menggunakan topeng yang terbuat dari
emas.
Dahulu tari topeng
kelana diyakini sebagai tari yang hanya dipentaskan di dalam lingkungan
kerajaan. Tari ini dibawakan oleh raja dan hanya dipertontonkan kepada
perempuan dalam lingkungan kerajaan, seperti para istri raja, mertua, hingga
ipar perempuan raja. Karenanya, dahulu tari topeng kelana dinilai lebih
bersifat spiritual daripada sebagai hiburan. Secara umum, tari topeng kelana
terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian baksarai dan ngedok. Baksarai
merupakan pementasan tari ketika belum mengenakan topeng, sedangkan ngedok
merupakan bagian saat para penari sudah mengenakan topeng. Tari topeng kelana
biasanya dipentaskan oleh laki-laki, tapi pakem tersebut telah berubah. Sejalan
dengan perkembangannya, kini perempuan juga banyak yang mementaskan tarian
topeng kelana. Tari topeng kelana biasa dipentaskan oleh 4-6 orang penari.
Gerakan dalam tari ini cenderung energik dan bersemangat, tapi tetap memerlukan
keluwesan untuk bisa mementaskannya. Dilihat dari gerakan dan topeng yang
dikenakan, tari ini merupakan penggambaran seseorang yang berperilaku buruk,
serakah, arogan layaknya tokoh Rahwana dalam pewayangan.
Banyak yang
percaya bahwa tari topeng kelana merupakan tari yang sudah ada di kalangan
istana raja-raja di Pulau Jawa sebelum kemudian berkembang di daerah Cirebon.
Di kalangan
masyarakat Cirebon, tari topeng kelana merupakan tari yang boleh dipentaskan
oleh siapa saja. Fungsi tari ini menjadi sarana hiburan. Dengan iringan musik
gojing yang meriah dan bersemangat, tari topeng kelana menjadi pementasan yang
ciamik untuk ditonton.
0 Komentar