Tari topeng panji



TOPENG PANJI
     Kedoknya berwarna putih. Matanya liyep, pandangannya merunduk dan senyumnya dikulum. Raut wajahnya (wanda) menunjukan seorang yang alim, tuturkatanya lemah-lembut dan gerakannya halus. Dalam topeng Cirebon kedok ini ditarikan dalam karakter alusan (halus) seperti halnya tokoh Arjuna dalam cerita wayang. Tariannya menggambarkan seseorang yang berbudi luhur, penuh kesabaran dan tahan atas segala godaan. Ini tercermin dari iringannya (musik) yang bertolak belakang (kontras) dengan tariannya. Tari topeng Panji adalah tarian paradoks.
     Menurut Endo Suanda, inilah tarian paling halus dengan langkah-langkah minimalis lebih banyak yang menampilkan gerak “diam yang dinamis”. Teknik gerakan jauh dari spektakuler, nyaris monoton dan “kurang menarik” bagi penonton awam. Meskipun demikian, tarian ini justru yang paling sukar ditarikan, karena diperlukan disiplin keras, penahanan diri, memakan tenaga, sangat serius, dan amat tertib sejak awal. Meskipun tarian ini merupakan tarian pertama, justru tarian ini dipelajari oleh para penarinya dalam tahap-tahap akhir, karena persyaratan tariannya yang demikian ketat. Bagian-bagian gerak tari Panji ini akan diulang dalam keempat tarian yang kemudian menyusul. Lagu yang mengiringinya disebut Kembang Sungsang, merupakan lagu terpanjang dan tersulit dimainkan. Iringan lagu ini sering tampil kontras dengan gerak tariannya. Irama cepat dan bunyi keras, disambut gerak tari yang amat minim, bahkan hampir tanpa gerak.***

Cerita Panji
Kapan cerita panji mulai muncul?
Cerita panji amat beragam, dan tersebar bukan hanya di wilayah Jawa dan Melayu, tetapi juga di Asia Tenggara (Panji Semboja). Bahan-bahan untuk menceritakan tentang tokoh Panji ini diambil dari buku R. M. Ng. Poerbatjaraka yang termashur, cerita Panji dalam perbandingan.
Kapan cerita panji mulai muncul di Jawa? Menurut Poerbatjaraka, cerita Panji telah ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan sebelum atau sekitar 1400, yakni pada zaman keemasan Majapahit atau sesudah kejayaannya. Naskah aslinya tidak ditemukan, tetapi “terjemahan” atasnya ditemukan dalam naskah Melayu, Panji Semirang. Bahwa cerita Panji telah ada pada masa itu, terbukti dari adanya relief zaman Majapahit tahun 1414 yang berisi bagian cerita Panji. Pendapat ini sesuai dengan berita Paparaton dan Negarakertagama yang mengisukan Raja Hayam Wuruk menari topeng (1350 1389). Jadi cerita Panji telah ada sebelum tahun 1400, bahkan sebelum tahun 1350.
Cerita Panji berlatar zaman Kediri (1104 1222). Padahal, dalam cerita itu telah terjadi anakronisme sejarah, yakni mencampurkan kerajaan Singhasari (1222 1292) dengan zaman Kediri. Anakronisme itu dapat terjadi, karena pada zaman Singhasari, kerajaan Kediri juga masih berdiri, meskipun di bawah Singhasari. Sedangkan jarak antara bahan cerita dengan kejayaan Majapahit (munculnya karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan, berupa kitab-kitab kidung serta Paparaton, Tantu Panggelaran, dan lain-lain) sekitar 200 tahun.***

Bagaimanakah ceritanya?
      Sulit untuk memaparkan cerita Panji, berhubungan dengan banyaknya versi yang terus ditulis dari zaman ke zaman dan dari satu wilayah ke wilayah lain. Poerbatjaraka setidak-tidaknya membandingkan delapan versi, yakni Hikayat Panji Kuda Semirang, Panji Kamboja, Panji Serat Kanda, Angron Akung, Jayakusuma, Panji Anggraeni Palembang, Panji Kuda-Narawangsa, Malat. Belum dihitung versi cerita rakyat lisan, seperti Ande-Ande Lumut, Ketek-Ogleng, Ragil Kuning.
Dari berbagai versi tersebut, ciri-ciri cerita Panji selalu menampakan dirinya dalam bentuk cerita tentang pangeran dan puteri dari 4 negara (Kediri, Kahuripan, Gegelang, Singhasari), percintaan antara pangeran dan puteri-puteri masing-masing pasangan Negara, menghilangnya candrakirana, pencarian Candrakirana dan pencarian Panji, saling menyamar dalam mengembara, penaklukan-penaklukan para pangeran dan puteri terhadap Negara-negara sekitarnya, dan akhirnya kebahagian perkawinan antara pasangan-pasangan tersebut.
     Karena Poerbatjaraka menyatakan bahwa Panji Semirang merupakan versi terjemahan Melayu dari bahasa Jawa (Tengahan), maka versi ini yang akan diceritakan untuk pemaknaan tarian topeng Panji. Di Jawa (Timur) waktu itu terdapat 4 negara yang raja-rajanya masih saling bersaudara. Negara-negara itu adalah Janggala atau Kahuripan (Utara), Daha atau Kediri (selatan), Singhasari (timur), Gegelang atau Urawan (barat). Raja janggala meskipun sudah mempunyai anak lelaki bernama Brajanata, masih memohon kepada Dewa untuk memperoleh anak lelaki lagi. permintaan dikabulkan, dengan menjelmakan seorang Dewa di atas istana Janggala, dan lahirlah Raden Inu Kertapati (Panji). Sementara itu raja Daha juga memohon dikaruniai seorang anak, maka dewa menjelma dewi di istana Daha, dan lahirlah puteri Daha, Candrakirana. Tetapi Dewa murka, Karena setelah kedua raja tersebut dikabulkan permohonannya, ternyata keduanya lupa berterimakasih (syukuran) kepada Dewa. Maka Dewa memutuskan bahwa kedua pasang laki-perempuan dari Janggala dan Daha akan mengalami berbagai kesulitan sebelum mereka dapat hidup sebagai suami istri.
     Alur cerita dimulai dengan timbulnya kesulitan pertama, yakni ketika Raden Inu (Panji), yang sudah dipertunangkan dengan Candrakirana. Jatuh cinta pada seorang gadis desa, Kartalangu (Anggraeni), pada waktu Panji dan dua saudara lelakinya berburu. Gadis desa itu dibawanya ke Istana, yakni keputren, rumah Panji. Dua asyik masyuk itu bercintaan sepenuh hati, meskipun Ken Kertalangu selalu mengingatkan bahwa Panji telah dipertunangkan dengan puteri Daha, dan percintaan mereka tak akan berlangsung lama. Suara Ken Kertalangu ini ternyata benar menjadi kenyataan, ketika Panji sedang pergi berburu, permaisuri Janggala, ibunda Panji, diam-diam mendatangi rumah Panji dan menikam Martalangu yang tembus seketika dan mati. Namun permaisuri menjadi menyesal setelah melihat betapa cantiknya Martalangu, dan memahami cinta putranda, Panji, yang begitu kuat padanya. Diberitahukan bahwa mayat Ken Martalangu moksa, hilang tanpa bekas. Ketika Panji pulang, ia mencari-cari kekasihnya, dan diberitahukan bahwa Martalangu telah moksa. Panji terpukul hebat, setengah gila. Lalu ia memutuskan untuk mengmbara dengan menyamarkan diri, mungkin untuk melupakan kekasihnya atau untuk mencari yang hilang tak tahu dimana.
     Kesulitan kedua muncul di Daha, Candrakirana yang merasa dikhianati tunangannya, nekad “melarikan diri” dari istana dengan menyamar sebagai lelaki. Beberapa versi melunakan “pemberontakan” atau kemarahan Candrakirana ini, dengan cara Candrakirana lenyap dari istana oleh Batara Kala dengan datangnya angin topan di Daha. Versi ini ingin menunjukan bahwa tak pantas seorang putri istana lari dari keputrennya. Kalau itu terjadi, tentu kehendak Dewa, bukan kehendak sendiri.
Baik saudara-saudara Panji maupun adik Candrakirana, ikut kabur dari istana, masing-masing mencari saudaranya, dan menyamar pula. Candrakirana menyamar sebagai Kuda Semirang. Panji sebagai Kelana Edan. Dalam penyamaran dan pencarian itu, putera-putera raja empat Negara banyak menaklukan Negara-negara lain.
Akhirnya Kuda Semirang dan Kelana Edan bertemu mengabdi pada Gegelang. Kebetulan Gegelang adalah satu-satunya Negara yang mempunyai seorang puteri yang belum dipertunangkan, sehingga raja Socawindu melamar puteri tersebut untuk dikawinkan dengan puteranya. Kalau lamaran ditolak, maka Socawindu akan menyerang Gegelang beserta lima orang raja lain yang masih bersaudara dengannya. Ketika Socawindu menyerang Gegelang, Kuda Semirang dan Inu Kertapati menghadang mereka dan berhasil mengalahkan Socawindu.
Sementara itu, panji, sebelum penyerangan Socawindu, telah bertemu dengan Candrakirana dan jatuh cinta padanya. Juga ketika keduannya menyamar, Candrakirana sebagai Semirang, Panji tetap tak dapat dipisahkan dengan Semirang. Seluruh cerita berakhir bahagia, karena putera-puteri keempat Negara sudah saling bertemu bersamaan dengan bertemunya Panji-Candrakirana. Maka kini bersatulah keempat kerajaan Jawa itu, karena masing-masing menjadi pasangan suami isteri, dengan “pusat” di Janggala atau Kahuripan (pasangan Panji-Candrakirana). Kalau secara kosmologi Jawa, maka kini lengkaplah terbentuk Negara kesatuan dengan pola empat kiblat kalimo pancer.***

Makna dibalik Tari Topeng Panji.
      Tarian Panji sebagai pahlawan budaya Jawa ini, memakai topeng atau kedok. Ini merupakan kesatuan dua konsep religi lama dan Hindu. Topeng Panji merupaklan symbol kehadiran roh raja atau dewa yang menjelma dalam diri raja, yang sesuai dengan mitos Panji yang selalu nyamar selama pengembaraan mencarai kekasihnya. Begitu pula dengan Candrakirana juga menyamar. “Samaran” ini adalah kedok atau topeng yang menyembunyikan identitas dirinya. Mereka kadang sudah bertemu, tetapi karena menyamar, maka keduanya tidak saling mengenal. Bahkan keduanya saling berperang (pasangan oposisi). Seperti matahari, dan bulan, siang dan malam, sulit untuk bertemu. Tetapi akhirnya matahari dan bulan ini bertemu juga, kawin dalam harmoni sempurna, yakni pada waktu terang bulan. Dalam terang bulan, dunia terang benderang seperti siang, tetapi bukan siang. Kenyataannya, terang bulan adalah perkawinan semesta purba. Dan peristiwa ini, dalam bahasa masyarakat kerajaan Majapahit, adalah peristiwa perkawinan panji dan Candrakirana.
Tarian topeng Panji adalah tarian untuk menghadirkan kekuatan-kekuatan semesta yang paradoksal. Dengan tarian ini, maka asas-asas paradoks semesta, kelaki-lakian dan keperempuanan, dihadirkan. Dewa pencipta itu sendiri dihadirkan lewat mitos dan lambang Panji. Panji adalah paradoks itu sendiri. Ia bersifat laki-laki dan bersifat perempuan, ia matahari dan ia bulan, ia siang dan malam, ia langit dan tanah, ia kasar dan halus, ia nampak dan tidak nampak, ia hidup dan kematian, ia masa lampau dan masa mendatang. Waktu dan ruang paradoks ada dalam diri Dewa ini.

Posting Komentar

0 Komentar