Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan tersebar disekitar
kecamatan Palimanan, sebelum tahun 1500-an, Palimanan dan wilayah pegunungan
Kromong disekitarnya masuk dalam wilayah kerajaan Rajagaluh (kini lebih dari
setengah wilayahnya yang berada di sisi barat pegunungan Kromong masuk kedalam
wilayah kabupaten Majalengka, yang khas dari gaya Palimanan jika dibandingkan
dengan gaya-gaya lainnya yang mengelilinginya seperti gaya Kalianyar, gaya
Gegesik dan gaya Slangit adalah pada sikap kuda-kuda yang disusun oleh Ki
Wentar (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) yang menekankan bahwa
kuda-kuda harus mengikuti postur dan kecakapan penari atau dalangnya, sehingga
pada setiap penari atau dalang topeng Cirebon gaya Palimanan sangat mudah
ditemukan kuda-kuda yang berbeda menurut kepantasan dan kecocokan postur pada
setiap penarinya.
Sejarah gaya Palimanan
Cerita mengenai tari Topeng Cirebon gaya Palimanan pernah
dinarasikan oleh Theodore G Th Pigeaud dalam bukunya Javaanse volksvertoningen.
Bijdrage tot de beschrijving van land en volk yang terbit pada 1938, Pigeaud
menjelaskan bahwa tari Topeng Cirebon gaya Palimanan memiliki kedekatan yang
harmonis secara budaya dengan wilayah-wilayah di Priyangan seperti Sumedang,
Ciamis, Garut, Tasikmalaya dan Bandung sejak awal tahun 1900-an, tidak hanya tari
Topeng Cirebon gaya Palimanan, wayang orang Cirebon juga memasuki wilayah ini ,
Kesenian-kesenian Cirebon yang
ditampilkan mampu menarik minat masyarakatm terbukti dengan berjejalnya
masyarakat untuk menyaksikan kesenian yang dibawakan[2]. Rombongan ini memiliki
andil sebagai rombongan kesenian tari Topeng Cirebon gaya Palimanan yang
pertamakali masuk ke pedalaman wilayah Priyangan, dikatakan rombongan tersebut
memiliku dua orang dalang yaitu Ki Wentar dan Ki Koncar dan berkeliling untuk
menggelar aksinya (bahasa Cirebon: Bebarangan), jarak yang ditempuh oleh
rombongan tersebut ketika bebarangan di wilayah Priyangan kira-kira sekitar 420
km.
Nama asli dari Ki Wentar adalah Ki Kudung, julukan Wentar
sebenarnya baru diberikan oleh bupati Bandung pada saat itu, yakni Pangeran
Adipati Aria Martanegara (1893-1918) yang diambil dari kosakata Kawentar yang
berarti terkenal, tetapi dalam keterangan lain, Ki dalang Sukarta yang
merupakan keluarga dari Ki Wentar meyakini bahwa julukan tersebut (Wentar)
sebenarnya diberikan oleh kesultanan Kasepuhan. Ki Wentar mahir berbahasa
Sunda, pada masa Wentar bahasa Sunda baru saja mengalami apa yang dinamakan
dengan modernisasi aksara, aksara Romawi diperkenalkan oleh Karel Frederik
Holle seorang pengusaha perintis di bidang perkebunan teh yang hidup pada tahun
1822-1896. modernisasi aksara Sunda menjadikan bahasa Sunda dapat dengan mudah
dipelajari secara luas, begitu juga sebaliknya, penggunaan aksara Romawi pada
masyarakat Sunda membuat masyarakat Sunda dapat dengan mudah mempelajari dan
mengerti bahasa lainnya dikarenakan aksara Romawi dijadikan dasar sebagai aksara
baku pemerintahan pada masa Belanda, dalam aktivitas keseniannya Ki Wentar
lebih dekat dengan para menak atau priyayi dan mengutamakan mengajar tari
Topeng.
Berkenaan dengan Ki Koncar, menurut Ki Kandeg (maestro
pembuatan Topeng Cirebon) nama aslinya adalah Ki Konya, Ki Konya dan
kelompoknya fokus kepadamempertunjukan kesenian wayang Orang Cirebon hingga ke
pelosok-pelosok dikarenakan beliau lebih dekat dengan kalangan masyarakat biasa
.
Bupati Sumedang, Pangeran Arya Soerjakoesoemahadinata
(1882-1919) sangat mengagumi dengan hasil karya seni Ki Wentar dan Ki Koncar
yang merupakan penyusun geraknya (kolaborator tari) di dalam kesenian wayang
Orang, keduanya kemudian diminta oleh Pangeran Aria Soerjakoesoemahadinata
untuk melatih para penari keraton Sumedang Larang.
Ranca Ekek di kabupaten Bandung diketahui sebagai salah satu
tempat yang dilintasi oleh Ki Wentar dan rombongannya ketika bebarangan, di
wilayah Ranca Ekek Ki Wentar dan rombongannya mengunjungi rumah Ki Lurah Ranca
Ekek sekaligus anak dari Wedana Tanjung Sari yaitu Raden Sambas Wirakukusuma
(1887-1962) yang menjabat sebagai Ki Lurah selama dua periode yakni dari tahun
1920-1931 dan dilanjutkan periode tahun 1935-1942, sebagaimana diketahui bahwa
selain mengajarkan kesenian kepada keturunannya, Ki Wentar juga mengajarkan
kesenian kepada orang lain diluar keturunannya, salah satu kelompok masyarakat
yang berminat pada bidang kesenian dan banyak menjadi murid dari Ki Wentar pada
masa itu adalah kelompok para Aristokrat (negarawan) seperti Ki Lurah
Wirakukusuma , selain Ki Lurah Wirakukusuma terdapat pula orang-orang lain dari
beragam profesi yang menjadi murid Ki Wentar atau Ki Kocar, misalnya Wiranta
dari Pabrik Kanji di Cibiru (Bandung) dan Okes Karta Atmadja dari Ciparay
(Bandung)[5]
Pada masa kemudian, Ki Wentar dan Ki Koncar berkolaborasi
dengan Raden Sambas Wirakukusuma (Ki Lurah Ranca Ekek) untuk mendesain sebuah
tarian baru yang menggabungkan gerakan tari Topeng Cirebon dengan Tayub
(kesenian tari yang biasa digelar di acara m di kesultanan-kesultanan di
Cirebon), tarian baru tersebut kemudian dikenal dengan nama tari Kursus, sebuah
tarian yang dipentaskan tanpa memakai topeng. nama tari Kursus ini kemudian
sering diasosiasikan kepada kelompok tari milik Raden Sambas Wirakukusuma yakni
kelompok tari Wiramahsari, nama tari Kursus yang merupakan perpaduan gerakan
tari Topeng Cirebon gaya Palimanan dengan Tayub ini kemudian diperkenalkan secara
luas melalui artikel di dalam jurnal Djawa yang diproduksi oleh Belanda pada
tahun 1930 yang berjudul De Soendaneesche Dans, artikel mengenai tari Kursus
tersebut ditulis oleh M Soeriadiradja dan I Adiwidjaja yang menggambarkan
secara rinci gerakan-gerakan pada tari Kursus tersebut,[6] namun pada tahun
1950-an, tari kursus ini kemudian dianggap hampir serupa dengan kesenian Tayub.
Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan oleh budayawan Cirebon
dianggap mencapai masa kejayaannya pada masa mimi (bahasa Indonesia: ibu)
Soedji (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan dan seorang penari tayub)
masih hidup atau hingga sekitar tahun 1970-an, yaitu dengan digelarnya tari
Topeng Cirebon gaya Palimanan hingga ke mancanegara, di antaranya Tiongkok,
Jepang dan Australia serta dipanggilnya mimi Soedji untuk mengisi kuliah
sebagai dosen tamu pada perguruan tinggi di Jawa Barat. Pada tahun 1970-an tari
Topeng Cirebon (termasuk gaya Palimanan) dapat dengan mudah ditemui di berbagai
sudut wilayah di Cirebon, tetapi pada masa modern hal tersebut sudah sulit
untuk dijumpai, salah satu alasannya adalah masuknya bentuk bentuk hiburan yang
membawa teknologi baru sehingga masyarakat mulai terlelap dengan bentuk hiburan
yang baru tersebut, diantaranya adalah organ tunggal, walau ada sebagian gaya
tari Topeng Cirebon lainnya yang bersedia pagelarannya diselingi oleh
penampilan organ tunggal namun tidak banyak juga dalang tari Topeng Cirebon
yang menolak hal tersebut karena dianggap merusak aturan (bahasa Cirebon:
Pakem)[7]
Setelah mimi Soedji meninggal, seniman yang masih
mempertahankan gaya Palimanan antara lain adalah Ki Sukarta, Ki Waryo (putera
dari Ki Empek (maestro kesenian Cirebon), mimi Tursini (yang merupakan anak
kandung mimi Soedji) dan mimi Nani Kadmini.
Mimi Tursini sebelum meninggalnya, memusatkan pelestarian
dan konservasi seni tari Topeng Cirebon gaya Palimanan di sanggarnya yakni di
sanggar Mekar Suji Arum, mimi Tursini
pernah menuturkan tentang pola=pola pengajaran tari yang diberikan oleh orang
tuanya dahulu, yakni dengan cara bebarangan (mementaskan tari topeng dari desa
ke desa). Pada sekitar tahun 1950-an ketika usinya menginjak 12 tahun,
ibundanya yakni mimi Soedji (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan)
mengajaknya untuk bebarangan bagi seorang anak ataupun murid tari Topeng
Cirebon, bebarangan adalah momentum untuk mempelajari tari Topeng Cirebon lebih
dalam, mengasah diri untuk mematangkan kepiawaian menari di depan banyak orang,
masa bebarangan ini juga oleh mimi Tursini disebut sebagai babakdeng dimana
tarian satu babaknya hanya dibayar dengan segedeng (seikat) padi.[9]
menurut Novi yang merupakan cucu dari mimi Tursini sekaligus
sebagai penari tari Topeng Cirebon gaya Palimanan, semasa hidupnya mimi Tursini
berusaha sepenuh hati dalam melestarikan gaya Palimanan, beliau tidak pernah
meminta bayaran ketika mengajarkan gaya Palimanan, semua diajarkan secara
gratis demi melestarikan gaya Palimanan yang sudah turun temurun diajarkan oleh
leluhur dan keluarganya, guna membeli atau membuat perlengkapan tari Topeng
Cirebon, mimi Tursini mencari biayanya dengan cara lain (dikarenakan beliau
tidak memungut iuran pada muridnya), diantaranya adalah menjadi pemandi jenazah
dan pemijat, uang yang diperolehnya kemudian dipergunakan untuk membeli
perengkapan tarinya diantaranya topeng, bahan pembuat sobra (hiasan kepala
penari Topeng Cirebon serta pakaiannya, menurut pengakuan Novi, terkadang mimi
Tursini sampai tidak memikirkan kebutuhan untuk makanannya sehari-hari hal
tersebut dikarenakan usaha yang dilakukan oleh mimi Tursini kurang mendapatkan
perhatian dari pihak berwenang.[9] Namun dibalik kisah beratnya mimi Tursini
mempertahankan gaya Palimanan, beliau juga terus mengikuti kebiasaan leluhur
keluarganya yakni dengan mempererat tali silaturahmi, diantaranya adalah dengan
penari kontemporer kenamaan yang juga rekan seperguruannya ketika belajar tari
Topeng Cirebon gaya Palimanan kepada ibudanya mimi Soedji yakni Didi Nini
Towok, Didi kerap mengunjungi mimi Tursini setiap tahunnya.
Mimi Nani Kadmini selain mendirikan sanggar tari Wulan Sari
di desa Kedung Bunder, kecamatan Gempol, kabupaten Cirebon yang mengajarkan
anak-anak setempat tentang gaya Palimanan, mimi Nani juga sempat mengajar di
beberapa sekolah di kota Cirebon sebagai guru tari, hal tersebut dilakukan untuk
melestarikan tari Topeng Cirebon gaya Palimanan, dalam usaha melestarikan gaya
Palimanan pada masa modern, kesulitan yang ditemui salah satunya adalah masalah
ekonomi, banyak dari anak-anak didiknya yang lama tidak datang untuk latihan
walau tidak diwajibkan membayar iuran latihan tari semata-mata karena kondisi
ekonomi orang tuanya membuat anak didik tersebut harus membantu mencukupi
ekonomi keluarganya dengan bekerja.
Kondisi yang sama juga terjadi dengan para Wiyaga (bahasa
Cirebon: penabuh Gamelan) gaya Palimanan, sudah tidak banyak lagi yang
menguasai gaya bermain gamelan untuk mengiringi tari Topeng Cirebon gaya
Palimanan, menurut mimi Nani para wiyaga yang mampu mengiringi tari Topeng
Cirebon gaya Palimanan mulai surut dan hanya menyisakan yang sudah tua, salah
satu diantaranya yang masih bisa ditemui adalah Ki Waryo, putra dari maestro
kesenian Cirebon Ki Empek.
Selain dari kondisi para dalang yang mulai berkurang dan
para wiyaga yang sudah tua, kondisi barang-barang bersejarah yang berkait erat
dengan gaya Palimanan juga terbilang memprihatinkan, untuk topengnya, menurut
mimi Nani Kadmini yang masih disimpan di wilayah adat Palimanan adalah topeng
Klana yang berusia sekitar 100 tahun yang kondisinya kini sudah agak retak.
0 Komentar