Seni sintren ternyata tidak hanya hidup di daerah Kabupaten Majalengka, Indramayu dan Cirebon. Tapi juga hidup di Desa Dukuhbadag, Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan.
Menurut, Udin Sahrudin, tokoh sintren di Desa Dukuhbadag, munculnya seni sintren di Kuningan belum bisa dipastikan. Sebab sampai sekarang belum ada penelitian ilmiah, tapi yang jelas sejak tahun 1930 sudah banyak warga Desa Dukuhbadag yang mengadakan pertunjukan seni sintren terutama pada acara pesta khitanan dan pernikahan.
“Dulu yang pertama kali menjadi pimpinan seni sintren di Desa Dukuhbadag yakni Ibu Warjiah, tapi saya tidak tahu pasti dari mana awal perkembangan seni sintren itu,” kata Udin Sahrudin.
Berdasarkan cerita orang tua dulu, lanjut dia, sini sintren di Dukuhbadag dibawa oleh orang dari daerah lain yang sengaja untuk mencari nafkah yakni sebagai Kukurung. Kukurung merupakan bahasa dialek masyarakat Desa Dukuhbadag yang ditujukan kepada orang yang sedang memcari nafkah dengan cara menjual jasa memanen padi.
Dia menjelaskan, mereka (kukurung) diperkirakan datang dari daerah perbatasan Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan dengan Kecamatan Banjarharja Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Diantaranya saja Desa Cibendung, Cikakak, Karangjunti, Pande, Dukuhjeruk dan Desa Randegan. Ada pula yang datang dari daerah perbatasan Kabupaten Cirebon, diantaranya Desa Tonjong, Cilengkrang, Ciledug, pabuaran, Cikulak, Leuweunggajah dan desa lainnya.
Kukurung-kukurung itu datang bukan saja ke Desa Dukuhbadag, tapi ke desa lain di Kecamatan Cibingbin antara lain Desa Bantarpanjang, Cisaat, Citenjo, Cibingbin, Desa Cibeureum dan Desa Tarikolot, bahkan sampai Desa Sukasari dan Tanjungkerta KecamatanKarangkancana. (Desa Cibeureum dan Desa Tarikolot, kini Kecamatan Cibeureum)
“Untuk melepas lelah, kukurung-kukurug itu mengadakan pertunjukan seni sintren, di halaman rumah warga tanpa mendapat upah dari pemilik punya rumah, kecuali jamuan alakadarnya,”imbuhnya.
Dikatakan, pertunjukan sintren tidak selamanya memerlukan panggung, mereka bermain di halaman rumah beralaskan tikar, para penabuh gamelan dan juru kawih sambil duduk, sedangkan sintren menari sambil berdiri lemah gemulai mengikuti irama irama gamelan.
“Konon kabarnya, anak yang sudah dijadikan sintren harus mengalami 21 kali pentas, lebih sempurna 40 kali pertunjukan. Hal ini dipercaya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan bagi pribasdi sintrennya, terutama musibah. Setelah 40 hari biasanya rombongan seni tersebut mengadakan hajatan selamatan agar dijauhkan dari mara bahaya,” paparnya.
sebutan kepada peran utama dalam satu jenis kesenian. Tapi akhirnya sebutan itu menjadi satu nama jenis kesenian yang disebut sintren. Sintren sendiri berasal kata sesantrian artinya meniru santri bermain lais, debus, rudat atau ubrug dengan menggunakan magic (ilmu ghaib).
Seni sintren ternyata tidak hanya hidup di daerah Kabupaten Majalengka, Indramayu dan Cirebon. Tapi juga hidup di Desa Dukuhbadag, Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan.
Menurut, Udin Sahrudin, tokoh sintren di Desa Dukuhbadag, munculnya seni sintren di Kuningan belum bisa dipastikan. Sebab sampai sekarang belum ada penelitian ilmiah, tapi yang jelas sejak tahun 1930 sudah banyak warga Desa Dukuhbadag yang mengadakan pertunjukan seni sintren terutama pada acara pesta khitanan dan pernikahan.
“Dulu yang pertama kali menjadi pimpinan seni sintren di Desa Dukuhbadag yakni Ibu Warjiah, tapi saya tidak tahu pasti dari mana awal perkembangan seni sintren itu,” kata Udin Sahrudin.
Berdasarkan cerita orang tua dulu, lanjut dia, seni sintren di Dukuhbadag dibawa oleh orang dari daerah lain yang sengaja untuk mencari nafkah yakni sebagai Kukurung. Kukurung merupakan bahasa dialek masyarakat Desa Dukuhbadag yang ditujukan kepada orang yang sedang mecari nafkah dengan cara menjual jasa memanen padi.
Dia menjelaskan, mereka (kukurung) diperkirakan datang dari daerah perbatasan Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan dengan Kecamatan Banjarharja Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Diantaranya saja Desa Cibendung, Cikakak, Karangjunti, Pande, Dukuhjeruk dan Desa Randegan. Ada pula yang datang dari daerah perbatasan Kabupaten Cirebon, diantaranya Desa Tonjong, Cilengkrang, Ciledug, Pabuaran, Cikulak dan Desa Leuweunggajah.
Kukurung-kukurung itu datang bukan saja ke Desa Dukuhbadag, tapi ke desa lain di Kecamatan Cibingbin antara lain Desa Bantarpanjang, Cisaat, Citenjo, Cibingbin, Cibeureum dan Desa Tarikolot, bahkan sampai Desa Sukasari dan Tanjungkerta Kecamatan Karangkancana. (Desa Cibeureum dan Desa Tarikolot, kini Kecamatan Cibeureum)
“Untuk melepas lelah, kukurung-kukurug itu mengadakan pertunjukan seni sintren, di halaman rumah warga tanpa mendapat upah dari pemilik rumah, kecuali jamuan alakadarnya,”imbuhnya.
Dikatakan, pertunjukan sintren tidak selamanya memerlukan panggung, mereka bermain di halaman rumah beralaskan tikar, para penabuh gamelan dan juru kawih sambil duduk, sedangkan sintren menari sambil berdiri lemah gemulai mengikuti irama gamelan.
“Konon kabarnya, anak yang sudah dijadikan sintren harus mengalami 21 kali pentas, lebih sempurna 40 kali pertunjukan. Hal ini dipercaya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan bagi pribadi sintrennya. Setelah 40 hari biasanya rombongan seni tersebut mengadakan hajatan selamatan agar dijauhkan dari mara bahaya,” paparnya. *
dnrSintren, Seni Tradisi Bernuansa Mistis
Rabu, 16 Desember 2009
SENI tradisi sintren, sebenarnya tidak hanya dimiliki warga Cirebon,
namun juga warga pesisir lainnya dari mulai Subang sampai Pekalongan
Jawa Tengah. Meski sempat redup beberapa tahun belakang, namun saat
ini "nyala api" sintren terlihat mulai kembali.
Sejumlah even dari mulai budaya sampai bisnis seperti pembukaan sebuah
pameran mulai menampilkan seni yang kental dengan nuansa mistis
tersebut.
Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi
cirebon, Sintren mulai dikenal pada awal tahun 1940-an. Nama sintren
sendiri tidak jelas berasal dari mana. Namun konon sintren adalah nama
penari yang masih gadis yang menjadi pemain utama dalam pertunjukan
itu.
Budayawan Cirebon Nurdin M. Noor menduga sintren merupakan nama lain
dari dewa Indra Jaya yang dikenal dalam dunia pewayangan. Namun Nurdin
mengakui, tidak tahu kepastiannya karena dugaannya itu hanya
berdasarkan dari alunan syair lagu yang mengiringi pagelaran seni
sintren.
Turun turune sintren,
Sintrene widadari,
Nemu kembang yun ayunan,
Kembange Si Jaya Indra
"Dari alunan syair itu saya menduga, sintren itu perwujudan dewa
sintren atau nama lain dari dewa Indra Jaya yang masuk ke raga seorang
penari sintren yang harus masih gadis," kata Nurdin.
Menurut Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata
(Disporbudpar) Kota Cirebon Dr. H. Wahyo, M.Pd. berdasarkan cerita
yang turun temurun, asal mula lahirnya sintren sebenarnya permainan
untuk menghilangkan bosan dan menghabiskan waktu.
Permainan itu tercipta dari kebiasaan kaum ibu dan putra-putrinya yang
tengah menunggu suami/ayah mereka pulang dari mencari ikan di laut.
"Dari pada tidur sore-sore, sambil menunggu suami dan bapaknya,
akhirnya tercipta permainan sintren. Namun siapa yang menciptakan
pertama kali, tidak ada sumber yang menyebutkannya. Karena zaman dulu
belum ada hak cipta, sehingga kebersamaan lah yang lebih
dikedepankan," kata Wahyo. Karena sering dimainkan hampir setiap sore
dan akhirnya sintren menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan kaum pesisir. Dalam perkembangannya, sintren menjadi sebuah
permainan penuh nuansa mistis. Pada perkembangan selanjutnya, sintren
dimainkan oleh para nelayan keliling kampung untuk tujuan mencari
uang, dari saweran yang dihasilkan. Dari yang semula hanya untuk
menambah uang dapur, sintren menjadi objek mencari nafkah hidup
Kesenian Sintren terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi
dengan beberapa gamelan seperti buyung, sebuah alat musik pukul yang
menyerupai gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainya
seperti , kendang, gong, dan kecrek.
Sebelum dimulai, para juru kawih memulai melantunkan lagu-lagu yang
dimaksudkan untuk mengundang penonton.
Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton
benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu
penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair,Kembang
trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana
0 Komentar